Kaedah-Kaedah Persatuan

Tidak ada inkarul munkar (baca: saling menyalahkan) dalam masalah-masalah ijtihadi
Yang dimaksud dengan masalah ijtihadi adalah masalah-masalah yang tidak ada dalil yang shahih sekaligus sharih (tegas maknanya) dalam masalah tersebut sehingga para ulama berbeda pendapat tentang hukumnya. Seperti masalah menggerakkan jari saat tasyahud, sedekap setelah I’tidal, angkat tangan saat takbir dalam shalat jenazah dll.
Ibnu Taimiyyah berkata, “Orang-orang yang tidak menjadikan bid’ah yang mereka buat sebagai alat untuk memecah persatuan kaum muslimin dengan menjadikan pendapatnya sebagai tolak ukur loyalitas dan permusuhan, maka pendapat tersebut sejenis dengan kekeliruan yang tidak disengaja. Maka Allah mengampuni kesalahan orang-orang yang beriman dalam permasalahan ini. Banyak ulama dan imam di masa salaf terjerumus dalam kesalahan semacam ini. Mereka memiliki pendapat yang berasal dari ijtihad yang menyelisihi apa yang terdapat dalam Al Qur’an dan As Sunnah.
Beda halnya dengan orang yang loyal terhadap orang yang sejalan dengan pendapatnya dan memusuhi orang yang tidak sejalan serta merusak persatuan kaum muslimin. Mereka menilai kafir dan fasik kepada semua orang yang menyelisihi pendapatnya dalam masalah-masalah ijtihadi. Bahkan mereka berpendapat bolehnya memerangi orang-orang yang menyelisihinya. Orang seperti ini adalah orang yang mengadakan perpecahan dan perbedaan” (Majmu Fatawa 3/349).
Beliau juga berkata, “Dalam masalah-masalah yang diperselisihkan, para shahabat bersepakat untuk membiarkan masing-masing orang beramal sesuai dengan ijtihadnya. Seperti perselisihan dalam masalah ibadah, pernikahan, pembagian harta warisan, distribusi harta, politik dll.
Dalam kasus pembagian harta waris yang sama, keputusan khalifah Umar di awal tahun yang pertama berbeda dengan keputusan di tahun yang kedua. Ketika hal ini ditanyakan kepada beliau, beliau menjawab, “Yang dahulu sebagaimana keputusan di masa dahulu. Yang sekarang sebagaimana keputusan sekarang”.
Para shahabat juga berbeda pendapat dalam beberapa masalah akidah seperti apakah mayit mendengar suara orang yang hidup ataukah tidak, apakah mayit disiksa karena tangisan keluarganya, dan apakah Nabi melihat Allah sebelum beliau meninggal. Meski demikian mereka tetap bersatu dan satu hati” (Majmu Fatawa 19/122-123).
Beliau juga berkata, “Menurut ahlus sunnah wal jamaah tidak ada dosa bagi orang yang berijtihad meski ijtihadnya membuahkan pendapat yang keliru” (Majmu Fatawa 19/123).
“Sesungguhnya Allah memerintahkan masing-masing orang untuk mencari kebenaran sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Jika memperoleh pendapat yang benar maka itulah yang diharapkan, sedangkan jika tidak, maka Allah tidak akan membebaninya melainkan sesuai dengan kemampuannya.
Orang-orang yang beriman telah berdoa, “Ya Allah janganlah kau siksa kami jika kami lupa atau kami melakukan kesalahan tanpa ada unsur kesengajaan” (QS al Baqarah:286). Allahpun telah merespon doa ini dengan mengatakan, “Telah Kukabulkan”.
Allah juga berfirman yang artinya, “Kalian tidaklah berdosa disebabkan hal-hal yang dilakukan tanpa kesengajaan” (QS al Ahzab:5).
Siapa yang mencela seseorang karena melakukan hal-hal yang tidak Allah permasalahkan maka dia telah berbuat melampaui batas.
Siapa yang ingin menjadikan perkataan dan perbuatan para ulama sebagaimana perkataan dan perbuatan Nabi kemudian pendapat tersebut dibela meski tanpa petunjuk dari Allah maka telah berbuat melampaui batas dan mengikuti hawa nafsu tanpa petunjuk dari Allah.
Sedangkan siapa yang berbuat sesuai dengan kemampuan yang dia miliki yaitu berijtihad jika mampu atau taklid, jika tidak mampu berijtihad dan bersikap proporsional dalam bertaklid maka dia telah berbuat tepat” (Majmu Fatawa 19/127-128).
Ketika Ibnu Taimiyyah membahas safar, batasan dan hukum-hukumnya lalu beliau memilih pendapat yang beliau nilai sebagai pendapat yang kuat, di akhir pembahasan beliau mengatakan, “Namun ini adalah masalah ijtihadi. Oleh karena itu siapa yang mempraktekkan salah satu pendapat ulama maka pilihannya tersebut tidak boleh diingkari dan orangnya tidak boleh diboikot” (Majmu Fatawa, 24/14).
Beliau juga ditanya mengenai seorang yang taklid pada seorang ulama dalam masalah ijtihadi, apakah orang tersebut boleh diingkari (baca: disalahkan) dan diboikot? Demikian pula seorang yang mengamalkan salah satu dari dua pendapat seorang imam?
Jawaban beliau, “Dalam masalah ijtihadi, siapa yang mengamalkan salah satu pendapat ulama maka dia tidak boleh diingkari dan tidak boleh diboikot. Demikian pula yang mengamalkan salah satu dari dua pendapat seorang imam, pilihannya tidak boleh diingkari.
Jika dalam suatu permasalahan terdapat dua pendapat ulama, maka jika dia mengetahui salah satu pendapat yang lebih kuat maka dia bisa mengamalkannya. Jika tidak bisa, maka dia boleh taklid kepada salah seorang ulama terpercaya untuk menjelaskan salah satu pendapat yang lebih kuat” (Majmu Fatawa 20/207).
Ibnu Abil ‘Izz al Hanafi berkata, “Berbagai permasalahan yang diperselisihkan oleh umat Islam baik dalam masalah ushul (akidah) atau furu’ (hukum fiqh) jika tidak dikembalikan kepada Allah dan rasulNya maka pendapat yang benar tidak bisa diketahui. Bahkan orang yang memperselisihkannya tidak mengetahui dengan baik permasalahan mereka.
Jika Allah menyayangi mereka maka mereka akan saling membiarkan orang lain yang memiliki pendapat yang beda dan tidak ada yang menzalimi pihak-pihak tertentu. Sebagaimana para shahabat di masa Umar dan Utsman berselisih dalam beberapa masalah ijtihadi tetapi mereka saling membiarkan pihak yang berlainan pandangan dan tidak ada pihak-pihak yang menzalimi ataupun dizalimi.
Namun jika mereka tidak mendapatkan rahmat Allah maka mereka terjerumus dalam perselisihan yang tercela. Sehingga sebagian mereka menzalimi sebagian yang lain. Seperti kata-kata yang memvonis kafir atau fasik atau dengan perbuatan, seperti memenjarakan, memukul atau sampai membunuh pihak-pihak yang berseberangan pendapat.
Orang-orang yang tidak mengetahui sebagian ajaran Rasul ada yang bersikap adil dan ada yang bersikap zalim. Yang bersikap adil adalah yang mempraktekkan ajaran Nabi yang sampai kepada mereka tanpa menzalimi yang lain. Sedangkan yang bersikap zalim adalah yang menzalimi pihak yang berlainan pendapat dengan dirinya. Mayoritas yang bersikap zalim itu menzalimi pihak lain dalam kondisi sadar kalau dirinya berbuat zalim sebagaimana firman Allah yang artinya, “Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka” (QS Ali Imron: 19).
Seandainya mereka bersikap adil maka tentu sebagian mereka akan membiarkan sebagian yang lain sebagaimana orang-orang yang taklid kepada para imam. Mereka menyadari bahwa dirinya tidak mampu mengetahui hukum Allah dan rasulNya dalam masalah-masalah tersebut. Akhirnya mereka jadikan para imam mazhab sebagai wakil Rasul. Mereka mengatakan, ‘Inilah maksimal yang bisa kami lakukan’. Orang yang bertaklid yang bersikap adil tidak akan menzalimi pihak-pihak lain dan tidak akan berbuat melampaui batas baik dengan kata-kata maupun dengan perbuatan. Seperti mengklaim bahwa pendapat ulama yang dia ikuti itulah yang benar tanpa bisa mendatangkan dalil dan mencela orang yang beda padahal orang tersebut juga sama-sama taklid karena tidak tahu” (Syarh Akidah Thohawiyyah 513-514).