‘Amir ibnu Abdullah

Kisah ini bermula ketika petugas keamanan kota Bashrah menangkap seorang dzimmy[1] di sebuah pasar, lalu menariknya seperti seorang pencuri. Dzimmy itu meronta-ronta sambil berteriak meminta tolong.‘Amir ibnu Abdullah yang kebetulan sedang berada disana segera menghampirinya seraya bertanya, “Apakah engkau telah menunaikan jizyahmu?’
“Tentu saja, aku telah menunaikannya” jawabnya.
Iapun menoleh ke arah para petugas keamanan yang menangkap orang itu.”Lalu mengapa kalian menangkapnya? Apa yang kalian inginkan darinya?”tanya ‘Amir ibnu Abdullah pada petugas itu.
“Kami akan membawa orang ini ke kebun kepala keamanan kota ini agar ia mau membersihkannya!” jawab salah seorang petugas keamanan tersebut.
“Apakah engkau memang mau dan rela mengerjakannya?” tanya ‘Amir kepada dzimmy itu.
“Tentu saja tidak. Orang-orang ini tiba-tiba saja menarikku, padahal aku sedang bekerja untuk keluargaku. Bila aku pergi bersama mereka, maka hari ini aku dan keluargaku akan makan apa?”jawabnya.
Para petugas keamanan itu bersikeras membawanya, hingga menyulut kemarahan ‘Amir. Segera saja ia membuka kain selendangnya dan meletakkannya pada orang kafir dzimmy itu, lalu berkata dengan suara keras, “Demi Allah, tidak seorangpun dapat merusak perjanjian Muhammad selama aku masih hidup!”
Orang-orang yang mendengar suara keras ‘Amir segera membantu ‘Amir untuk membebaskan orang dzimmy itu dari cengkraman para petugas keamanan. Setelah terjadi tarik menarik dan pergulatan yang cukup lama, ‘Amir dan orang-orang itu berhasil melepaskannya. Tentu saja para petugas keamanan itu marah, terlebih lagi kepala petugas keamanan. Berbagai fitnah pun mereka sebarkan untuk menjelek-jelekkan dan menjebak ‘Amir ibnu ‘Abdullah.
Mereka mengatakan ‘Amir ibnu Abdullah ingin memberontak sebab telah berani melawan petugas keamanan, ia orang yang tidak mau menikahi wanita, tidak mau memakan daging hewan dan meminum susunya, dan bersikap sombong dengan tidak mau menghadiri majelis-majelis para petinggi dan penguasa. Segala tuduhan ini kemudian mereka laporkan kepada khalifah di Madinah, Amirul Mukminin ‘Utsman ibn ‘Affan a Meskipun menyangsikan laporan tersebut, Amirul Mukminin menitahkan kepada gubenur Bashrah untuk memanggil ‘Amir ibn Abdullah, “Tanyakanlah padanya dengan baik apa alasan yang mendorongnya melakukan itu semua.”
“Maaf tuan, saya tidak menikah bukan karena saya tidak menyukai Sunnah Nabi. Saya menyakini bahwa Islam tidak mengenal ajaran kependetaan yang menolak pernikahan. Tetapi saya tidak menikah karena saya adalah seorang insan yang memandang bahwa manusia hanya punya satu jiwa, maka saya menjadikannya hanya untuk Allah, sebab saya khawatir jika menikah, maka akan terkalahkan oleh kecintaan pada istri.” jawaban ‘Amir untuk pertanyaan yang pertama.
“Saya tetap makan daging bila mau dan saya mendapatkannya. Bila saya tidak berhasrat atau saya berhasrat namun saya tidak mendapatkannya, maka tentu saja saya tidak memakannya, tuan ” jawab ‘Amir untuk pertanyaan yang kedua.
Sedangkan pertanyaan tentang keju beliau menjelaskan, “Kami ini hidup di sebuah kampung di mana orang-orang Majusi banyak membuat keju di sana. Padahal mereeka adalah orang-orang yang tidak membedakan mana hewan yang disembelih dan yang tidak. Maka saya sangat khawatir, lemak kambing yang mereka gunakan untuk membuat keju itu berasal dair kambing yang tidak disembelih. Kecuali bila ada dua orang muslim yang menjadi saksi bahwa kambing itu telah disembelih, maka sayapun memakannya.”
“Baiklah. Dan pertanyaan terakhirku adalah mengapa engkau tidak menghadiri majelis-majelis para penguasa?”tanya sang gubernur.
“Sudah terlalu banyak orang-orang yang berhajat menunggu di pintu-pintu tuan, maka panggillah mereka untuk menemui Anda dan penuhilah hajat serta permintaan mereka. Adapun saya, maka saya tidak mempunyai hajat kepada tuan, karenanya biarkanlah orang yang tidak berhajat kepada tuan tidak menemui tuan.” jawab ‘Amir ibnu ‘Abdullah.
Namun apa mau dikata bila fitnah sudah terlanjur menyala, orang bijakpun akan sulit memadamkannya. Maka demi menjaga keamanan dan kehormatan pria zuhud ini, sang khalifah lalu memintanya untuk pergi ke Syam di mana Mu’awiyah ibn Abi Sufyan a menjadi gubernur.







[1] Dzimmy adalah orang kafir yang hidup di tengah-tengah kaum muslimin yang berhak mendapatkan keamanan dan kebebasan setelah ia menunaikan apa yang disebut dengan jizyah. Islam sangat menghargai kebebasan mereka, hingga Nabi e sendiri memperingatkan siapapun yang mendzalimi mereka berarti ia merusak perjanjian yang ditetapkan oleh Rasulullah e.