Bagaimana makna dakwah, haruskah perang?

O81548843xxx

Jawaban:
Mungkin pertanyaan yang dimaksudkan adalah apakah makna jihad, haruskah perang? Untuk memahami hal ini dengan baik perlu kita perhatikan uraian Ibnua al Qayyim di bawah ini.
Beliau mengatakan, “Jihad itu ada empat tingkatan, jihad melawan nafsu, melawan setan, menghadapi orang-orang kafir dan jihad untuk menghadapi orang-orang munafik.
Jihad melawan nafsu (diri sendiri) terbagi menjadi empat level.
Yang pertama menundukkan jiwa agar mau mempelajari petunjuk (ilmu yang manfaat) dan agama yang benar (amal shalih). Inilah ilmu yang menjadikan kita mendapatkan keberuntungan dan kebahagian. Jika seorang itu tidak mau belajar maka dia akan celaka di dunia dan akherat.
Yang kedua memaksa jiwa untuk mempraktekkan ilmu yang telah diketahui. Karena ilmu yang tidak membuahkan amal itu jika tidak membahayakan orang yang punya ilmu tersebut maka minimal tidak memberi manfaat untuknya.
Yang ketiga adalah berjihad untuk mendakwahkan ilmu dan mengajarkannya kepada yang belum tahu. Orang yang tidak mau mengajarkan ilmu yang dimiliki itu termasuk orang-orang yang menyembunyikan petunjuk dan penjelasan yang telah Allah turunkan. Sehingga ilmunya tidaklah memberi manfaat dan tidak bisa menyelamatkannya dari siksa Allah.
Yang keempat adalah memaksa jiwa agar bersabar menghadapi kesulitan di medan dakwah dan gangguan para penghalang dakwah. Itu semua diterima dengan penuh kesabaran karena Allah.
Orang yang melalui empat level ini akan dinobatkan menjadi seorang robbani. Sesunggunya para ulama salaf bersepakat bahwa seorang yang berilmu tidaklah berhak disebut robbani sehingga mengetahui kebenaran, mengamalkannya dan mengajarkannya. Siapa saja yang berilmu, beramal dan mengajarkan ilmu maka dia akan dinilai sebagai orang yang mulia di kerajaan langit.
Tingkatan yang kedua adalah berjihad melawan setan. Jihad dalam tingkatan ini terbagi menjadi dua level. Yang pertama adalah jihad untuk mencegah syubuhat (kerancuan dalam berpikir dan pemikiran yang menyimpang dari akidah yang benar) dan hal-hal yang meragukan keimanan yang dilontarkan oleh setan.
Level yang kedua adalah berjihad untuk mencegah berbagai keinginan buruk yang dibisikkan oleh setan.
Jihad level yang pertama akan membuahkan keyakinan. Sedangkan jihad pada level yang kedua akan membuahkan kesabaran.
وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآَيَاتِنَا يُوقِنُونَ
Yang artinya, “Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar dan adalah mereka meyakini ayat-ayat kami” (QS as Sajdah:24).
Dalam ayat ini Allah memberitakan bahwa kepemimpinan dalam agama hanya bisa didapatkan dengan kesabaran dan keyakinan. Dengan sabar kita bisa mencegah berbagai keinginan yang terlarang dan dengan keyakinan (baca:ilmu) kita bisa mencegah keraguan dalam akidah dan berbagai bentuk syubuhat (kerancuan berpikir).
Tingkatan yang ketiga adalah jihad untuk menghadapi orang-orang kafir dan munafik. Tingkatan ini terbagi menjadi empat level, jihad dengan hati, lisan, harta dan jiwa.
Jihad menghadapi orang kafir identik dengan tangan sedangkan jihad menghadapi orang-orang munafik identik dengan lisan.
Tingkatan yang keempat adalah jihad menghadapi pelaku kezaliman, bid’ah dan kemungkaran. Pada tingkatan ini ada tiga level yaitu dengan tangan jika mampu. Jika tidak mampu maka dengan lisan. Jika tidak mampu maka jihad dilakukan dengan hati.
Inilah tiga level yang ada dalam jihad. Siapa yang meninggal dunia dalam keadaan belum pernah berperang dan tidak berniat untuk berperang maka dia mati di atas salah satu cabang kemunafikan” (Zadu al Ma’ad 3/9-10, cetakan Muassah Risalah).
Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa jihad itu tidak selalu identik dengan perang.

Assalamu alaikum. Tadz, apa sih sebenarnya arti setan itu? Karena ada yang bilang makhluk dan ada juga yang bilang sifat, bagaimana yang benar? Trims. Aslamy Ukasyah 085643174376
Jawaban:
Wa’alaikumus salam
Menurut bahasa Arab, setan diambil dari kata-kata syathona yang berarti jauh. Iblis disebut juga syaithon karena tabiatnya sangat jauh dengan tabiat manusia dan karena kefasikannya maka Iblis itu jauh dari segala kebaikan. Ada juga pakar bahasa Arab yang mengatakan bahwa kata-kata syaithon itu berasal dari kata sya-tho yang berarti binasa atau membakar. Sehingga Iblis disebut demikian karena dia tercipta dari api. Namun uraian yang pertama itu yang lebih tepat (Lihat Tafsir Ibnu Katsir 1/35, cetakan Dar as Salam).
Sedangkan secara istilah, Ibnu Katsir mengatakan
“Istilah setan menurut pendapat yang benar diambil syathona yang bermakna jauh. Oleh karena itu semua yang punya sifat membangkang baik jin, manusia ataupun hewan disebut dengan setan” (Tafsir Ibnu Katsir 1/35, Dar as Salam).
Sedangkan al Qurthubi mengatakan,
“Iblis disebut setan karena Iblis adalah makhluk yang jauh dari kebenaran dan bersikap membangkang terhadap kebenaran. Oleh karena itu semua yang kurang ajar dan membangkan, baik jin, manusia, ataupun hewan disebut dengan setan” (Al Jami’ li Ahkamil Qur’an 1/125, cetakan Dar al Kitab al ‘Arabi).
Ibnu Utsaimin mengatakan,
“Gembong orang-orang munafik disebut dengan istilah setan karena pembangkangan mereka sangatlah jelas. Ada yang mengatakan bahwa definisi setan adalah semua yang membangkang. Artinya semua yang membangkang baik jin, manusia, ataupun yang lain adalah setan. Oleh karena itu Nabi menyebut anjing yang berwarna hitam sebagai setan. Bukanlah maksudnya bahwa anjing tersebut adalah setan jin yang berbentuk anjing. Namun maksudnya anjing yang berwarna hitam adalah setan di bangsa anjing. Dengan kata lain, anjing tersebut adalah anjing yang paling membangkang di antara anjing-anjing yang lain dan anjing yang paling buruk adalah anjing yang berwarna hitam. Oleh karena itu Nabi mengatakan, “Anjing hitam adalah setan” (HR Musim).
Dalam bahasa Arab jika ada orang yang digelari setan bani fulan artinya dia adalah orang yang paling sombong dan membangkang yang ada pada bani tersebut” (Tafsir al Qur’an al Karim al Fatihah-al Baqarah 1/53, cetakan Dar Ibnu al Jauzi).
Ketika menjelaskan hadits Nabi
الرَّاكِبُ شَيْطَانٌ وَالرَّاكِبَانِ شَيْطَانَانِ وَالثَّلاَثَةُ رَكْبٌ
“Seorang yang bepergian seorang diri adalah setan. Demikian pula jika dua orang. Jika tiga orang barulah dikatakan sebagai rombongan” (HR Abu Daud no 2607 dll, dinilai hasan oleh al Albani)
Syeikh al Albani mengatakan,
“Menurut hadits-hadits ini seorang muslim diharamkan bersafar seorang diri. Demikian pula jika hanya ditemani satu orang. Kesimpulan ini berdasarkan makna tekstual dari larangan yang ada dalam hadits di atas. Di samping itu karena Nabi menyebut orang yang bepergian seorang diri sebagai setan yang dalam hal ini bermakna orang yang durhaka. Sebagaimana firman Allah, ‘Setan dari bangsa manusia dan jin’ (QS al An’am:112). Yang dimaksudkan oleh ayat ini adalah manusia dan jin yang durhaka sebagaimana penjelasan al Mundziri” (Silsilah Shahihah pada no hadits 62).
Umar bin al Khaththab menaiki seekor kuda. Kuda tersebut berlenggak lenggok, tidak mau diatur. Tidaklah Umar memukulnya melainkan kuda tersebut semakin berlenggak lenggok. Akhirnya Umar turun darinya sambil mengatakan, “Kalian menyerahkan setan sebagai hewan tunggganganku. Aku tidak memutuskan untuk turun kecuali setelah aku merasa jengkel” (HR Thabari dalam Tafsirnya no 136, Ibnu Katsir dalam Tafsirnya 1/35 mengatakan, “Sanadnya shahih”).