Nisan, Menyiarkan Kematian dan Puasa Syawal

Konsultasi Maret
Assalamu’alaikum. Apakah berpuasa 6 hari di bulan syawal benar melipatgandakan pahala sholat sehari-hari? Mohon penjelasan. Terima kasih 081548843421.

Jawab:
Wa’alaikumus salam
عَنْ أَبِى أَيُّوبَ الأَنْصَارِىِّ - رضى الله عنه - أَنَّهُ حَدَّثَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ ».
Dari Abu Ayyub, beliau bercerita bahwa Rasulullah bersabda, “Barang siapa berpuasa Ramadhan kemudian dia ikuti dengan puasa enam hari dari bulan Syawal maka seakan-akan dia berpuasa sepanjang tahun” (HR Muslim no 2815).
Hal ini disebabkan satu kebaikan itu minamal digandakan menjadi sepuluh kali lipat. Sehingga puasa selama sebulan dinilai sama dengan puasa sepuluh bulan dan puasa selama enam hari sama nilainya dengan dua bulan.
Permasalahan pahala adalah permasalahan gaib yang tidak bisa ditetapkan dengan akal sehingga harus berdasar dalil wahyu yaitu al Qur’an dan sunnah.
Sampai saat ini, kami belum mengetahui dalil dari al Qur’an dan sunnah yang menunjukkan bahwa puasa enam hari di bulan Syawal menyebabkan nilai shalat fardhu kita menjadi berlipat ganda.

Aris Sobichin. Orang yang meninggal tidak boleh diumumkan lewat masjid. Benarkah? 081327109047

Jawab:
Mengenai hal ini Syeikh Al Albani mengatakan, “(Di antara yang diharamkan) adalah mengumumkan berita kematian di atas menara atau semisalnya karena hal tersebut termasuk na’yu (yang terlarang).
Sesungguhnya Hudzaifah ibn al Yaman jika ada kerabatnya yang meninggal beliau berkata, “Jangan beritahukan perihal kematiannya kepada seorangpun karena aku khawatir hal tersebut termasuk na’yu, padahal aku mendengar Rasulullah melarang na’yu” (HR Tirmidzi dan dinilai hasan oleh Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad dan Baihaqi. Juga diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah secara marfu’ (sabda Nabi) dalam al Mushannaf dengan sanad yang hasan sebagaimana penilaian al Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari).
Dalam bahasa Arab, an na’yu bermakna menyampaikan berita kematian seseorang. Berdasar penjelasan ini na’yu mencakup semua bentuk pemberitaan kematian seseorang. Akan tetapi terdapat beberapa hadits shahih yang menunjukkan adanya na’yu (berita kematian) yang dibolehkan. Oleh karena itu para ulama menyatakan bahwa tidak semua na’yu itu terlarang. Mereka mengatakan bahwa na’yu yang terlarang adalah pengumuman kematian yang menyerupai pengumuman kematian yang dilakukan oleh orang-orang jahiliyyah yaitu dengan berteriak-teriak di depan pintu-pintu rumah dan pasar.
Oleh karena itu aku tegaskan bahwa pengumuman kematian itu dibolehkan jika tidak mengandung unsur menyerupai na’yu jahiliyyah. Bahkan terkadang hukum na’yu itu wajib tidak terdapat orang yang bisa menunaikan hak jenazah yaitu memandikan, mengkafani dan menshalati jenazah.
Terdapat beberapa hadits yang menunjukkan hal tersebut. Diantaranya dari Abu Hurairah, sesungguhnya Rasulullah mengumumkan kematian (na’yu) an Najasyi di hari kematiannya. Beliau lantas pergi menuju mushalla (tanah lapang) lalu bershaf dengan para shahabat dan bertakbir (untuk shalat jenazah) sebanyak empat kali” (HR Bukhari dan Muslim).
Dari Anas, Nabi bersabda, “Zaid (bin Haritsah) memegang bendera perang lantas dia gugur. Kemudian Ja’far (bin Abu Thalib) memegang bendera perang lantas gugur. Kemudian bendera perang dipegang oleh Abdullah bin Rawahah lantas gugur.-sungguh kedua mata Rasulullah beruraian air mata-. Kemudian bendera perang dipegang oleh Khalid bin al Walid tanpa ada yang mengangkatnya sebagai panglima perang. Akhirnya mereka mendapat kemenangan” (HR Bukhari).
Kedua hadits di atas diberi judul bab oleh al Bukhari dalam shahihnya sebagai berikut, ‘Bab Seorang Menyampaikan Kabar kematian Kepada Keluarga Mayit Secara Langsung’.
Al Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Judul bab ini mengisyaratkan bahwa tidak semua na’yu itu terlarang. Na’yu yang terlarang adalah na’yu yang dipraktekkan oleh orang-orang jahiliah. Mereka mengirimkan orang-orang yang bertugas mengumumkan kematian jenazah di depan pintu-pintu rumah dan pasar”.
Jika penjelasan ini sudah bisa diterima maka aku tegaskan bahwa mengumumkan berita kematian di atas puncak-puncak menara (masjid) tentu lebih layak lagi untuk dihukumi sebagai na’yu yang terlarang.
Tidak jarang, pengumuman berita kematian ini diiringi hal-hal yang juga haram semisal adanya upah untuk mengumumkan berita kematian dan memuji-muji jenazah dengan pujian yang jelas tidak ada pada mayit semisal mengatakan, ‘Shalatilah jenazah kebanggaan orang-orang yang mulia dan sisa salafush shalih yang masih ada’. (Lihat Ahkam al Janaiz karya al Albani hal 44-46, cetakan Maktabah al Ma’arif).
Semisal itu adalah pujian ‘telah meninggal dunia dengan tenang’.
Berdasar uraian di atas maka menyampaikan berita kematian seseorang itu ada yang terlarang, boleh dan bahkan ada yang wajib. Terlarang jika menyerupai pengumuman kematian yang dilakukan oleh orang-orang jahiliah semisal pengumuman kematian dengan pengeras suara di masjid. Wallahu a’lam.

Ass. Sqortu saya sudah meninggal, apakah di atas makamnya boleh dibangun/diberi kijing? Kalo tidak boleh apa yang harus kami lakukan agar tetap dapat mengenali makam ortu-Ima di Sleman. 08156877

Jawab:
عَنْ جَابِرٍ قَال نهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُبْنَى عَلَى الْقَبْرِ أَوْ يُزَادَ عَلَيْهِ أَوْ يُجَصَّصَ زَادَ سُلَيْمَانُ بْنُ مُوسَى أَوْ يُكْتَبَ عَلَيْهِ
Dari Jabir, beliau mengatakan bahwa Rasulullah melarang mendirikan bangunan di atas kubur, menambahi tanah kuburan lebih dari yang dikeluarkan, dikapur-berdasar keterangan Sulaiman bin Musa, terdapat tambahan- atau ditulisi (HR Nasai no 2027, dinilai shahih oleh al Albani).
عَنْ أَبِى سَعِيدٍ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى أَنْ يُبْنَى عَلَى الْقَبْرِ.
Dari Abu Said, sesungguhnya Nabi melarang membuat bangunan di atas kubur (HR Ibnu Majah no 1564, dinilai shahih oleh al Albani).
عَنْ أَبِى الْهَيَّاجِ الأَسَدِىِّ قَالَ قَالَ لِى عَلِىُّ بْنُ أَبِى طَالِبٍ أَلاَّ أَبْعَثُكَ عَلَى مَا بَعَثَنِى عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ لاَ تَدَعَ تِمْثَالاً إِلاَّ طَمَسْتَهُ وَلاَ قَبْرًا مُشْرِفًا إِلاَّ سَوَّيْتَهُ.
Dari Abu al Hayyaj al Asadi, Ali bin Abi Thalib berkata kepadaku, ‘Maukah engkau kuutus dengan membawa tugas sebagaimana tugas yang pernah Rasulullah bebankan pada diriku? Tugas tersebut adalah janganlah kau biarkan satupun patung melainkan kau hancurkan dan jangan ada satupun kubur yang ditinggikan melainkan kau ratakan’ (HR Muslim no 2287).
فَإِنِّى سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَأْمُرُ بِتَسْوِيَةِ الْقُبُورِ.
Dari Fadhalah bin Ubaid al Anshari, “Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah memerintahkan untuk meratakan kubur” (HR Ahmad no 23981, Syeikh Syu’aib al Arnauth mengatakan, ‘Sanad hadits ini berderajat hasan sedangkan secara umum haditsnya berderajat shahih’).
أَنَّ مُعَاوِيَةَ، قَالَ:"إِنَّ تَسْوِيَةَ الْقُبُورِ مِنَ السُّنَّةِ، وَقَدْ رَفَعَتِ الْيَهُودُ، وَالنَّصَارَى فَلا تَشَّبَّهُوا بِهِمَا"
Muawiyah berkata, “Sesungguhnya meratakan kubur itu termasuk sunnah Nabi. Yahudi dan Nasranilah yang meninggikan kubur. Oleh karena itu janganlah kalian menyerupai mereka” (HR Thabrani dalam al Mu’jam al Kabir no 823, sanadnya dinilai shahih oleh al Albani dalam Ahkam al Janaiz hal 267).
Ketika menjelaskan hadits yang diriwayatkan oleh Muslim di atas dalam Nailul Author (4/131, Maktabah Syamilah), asy Syaukani berkata,
فِيهِ أَنَّ السُّنَّةَ أَنَّ الْقَبْرَ لَا يُرْفَعُ رَفْعًا كَثِيرًا مِنْ غَيْرِ فَرْقٍ بَيْنَ مَنْ كَانَ فَاضِلًا وَمَنْ كَانَ غَيْرَ فَاضِلٍ .وَالظَّاهِرُ أَنَّ رَفْعَ الْقُبُورِ زِيَادَةً عَلَى الْقَدْرِ الْمَأْذُونِ فِيهِ مُحَرَّمٌ ، وَقَدْ صَرَّحَ بِذَلِكَ أَصْحَابُ أَحْمَدَ وَجَمَاعَةٌ مِنْ أَصْحَابِ الشَّافِعِيِّ وَمَالِكٌ
“Hadits ini menunjukkan bahwa kubur itu tidak boleh ditinggikan secara berlebihan dan ini berlaku untuk kubur orang yang istimewa ataupun yang tidak istimewa. Hadits di atas juga menunjukkan bahwa meninggikan kubur melebihi kadar yang dibolehkan hukumnya adalah haram sebagaimana penegasan yang disampaikan oleh para ulama mazhab Hambali dan sejumlah ulama dari mazhab Syafii dan Malik”.
Jika kubur seseorang diberi kijing maka kubur tersebut akan meninggi lebih dari kadar yang diizikan yaitu satu jengkal dari permukaan tanah. Jika demikian perbuatan ini bertentangan dengan berbagai dalil di atas. Yang sesuai dengan sunnah Nabi cara mengenali kubur seseorang adalah dengan diberi tanda berupa batu di bagian kepalanya.