Kaedah-Kaedah Persatuan 2

Kaedah-Kaedah Persatuan
Anjuran untuk tidak mempraktekkan amal yang dianjurkan demi persatuan

Ibnu Taimiyyah berkata, “Sebuah amal terkadang dianjurkan untuk dilaksanakan namun terkadang dianjurkan untuk tidak dilaksanakan. Tolak ukur dalam masalah ini adalah manakah yang lebih besar maslahatnya berdasar dalil-dalil syariat antara dikerjakan ataukah tidak dikerjakan. Seorang muslim terkadang meninggalkan amal yang dianjurkan jika mengerjakan amal tersebut menimbulkan bahaya yang lebih besar dari pada manfaatnya. Sebagaimana Nabi tidak membangun ulang Ka’bah sesuai dengan pondasi Ibrahim karena khawatir penduduk Mekah menjadi phobi dengan Islam mengingat mereka baru saja masuk Islam.
Oleh karena itu Imam Ahmad dan yang lainnya menganjurkan imam shalat untuk tidak mempraktekkan hal-hal yang lebih afdhol menurutnya jika dengan itu bisa menarik simpati jamaah masjid. Jadi melakukan amal yang kurang afdhal demi menjaga persatuan itu mengandung maslahat yang lebih besar dibandingkan maslahat melakukan amal yang hukumnya dianjurkan tersebut. Oleh karena itu, hal tersebut dibolehkan” (Majmu Fatawa 24/195).
Misal imam berpendapat bahwa yang lebih afdhal adalah membaca basmalah dengan suara lirih dalam shalat jahriah. Akan tetapi jika dipraktekkan jamaah shalat masjid tersebut belum bisa menerimanya. Bahkan beranggapan bahwa hal tersebut adalah ajaran yang menyimpang. Maka untuk sementara waktu imam hendaknya meninggalkan pendapatnya demi menjaga persatuan sampai orang tersebut bisa memahamkan masyarakat.
Namun ingat, kaedah ini hanya berlaku untuk amal-amal yang hukumnya dianjurakan dan tidak berlaku untuk amal yang hukumnya wajib.
Misal di suatu daerah, masyarakatnya masih phobi dengan laki-laki yang celananya di atas mata kaki atau perempuan yang berpakaian syar’i. Meski demikian dua amal wajib ini tidak bisa ditinggalkan dengan alasan menjaga persatuan meski untuk sementara waktu. Perhatikan perbedaan dua hal ini dengan baik.

Boleh shalat di belakang imam yang beda pendapat dengan makmum dalam hal syarat dan rukun shalat

Ibnu Taimiyyah berkata, “Para tabiin dan para pakar fiqh, sebagian mereka bermakmum di belakang yang lain dan terkadang imam tidak melakukan hal yang dianggap wajib oleh makmumnya.
Menurut Abu Hanifah dan Ahmad, keluarnya najis (semisal darah, pent) selain dari jalan depan dan jalan belakng itu membatalkan wudhu’. Meski demikian ketika khalifah Harun ar Rasyid berbekam Abu Yusuf (murid Imam Abu Hanifah, pent) tetap bermakmum di belakngnya. Ketika hal ini ditanyakan kepadanya, beliau berkomentar, ‘Subhanallah, amirul mukminin (mengapa aku tidak mau shalat di belakngnya)’.
Ketika hal ini ditanyakan kepada Imam Ahmad maka beliau berfatwa wajib berwudhu. Lalu ada yang bertanya,
فَإِنْ كَانَ الْإِمَامُ لَا يَتَوَضَّأُ أُصَلِّي خَلْفَهُ ؟
‘Jika imam shalat tidak berwudhu, apakah aku tetap shalat di belakangnya?’. Beliau berkata,
سُبْحَانَ اللَّهِ أَلَا تُصَلِّي خَلْفَ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ وَمَالِكِ بْنِ أَنَسٍ
‘Subhanallah, apakah engkau tidak mau shalat di belakang Said bin al Musayyib dan Malik bin Anas’ (Majmu Fatawa 20/365).
Dalil dalam masalah ini adalah sabda Nabi,
« يُصَلُّونَ لَكُمْ ، فَإِنْ أَصَابُوا فَلَكُمْ ، وَإِنْ أَخْطَئُوا فَلَكُمْ وَعَلَيْهِمْ »
“Mereka, para imam shalat itu shalat bersama kalian. Jika mereka bertindak yang benar maka pahalanya itu kalian dan mereka. Namun jika mereka berbuat keliru maka pahalanya untuk kalian sedangkan tanggung jawabnya atas mereka” (HR Bukhari dari Abu Hurairah).
Nabi juga bersabda,
« الإِمَامُ ضَامِنٌ فَإِنْ أَحْسَنَ فَلَهُ وَلَهُمْ وَإِنْ أَسَاءَ - يَعْنِى - فَعَلَيْهِ وَلاَ عَلَيْهِمْ ».
“Imam shalat itulah yang menjamin. Jika dia berbuat tepat maka pahalanya untuknya dan para makmum. Jika dia berbuat keliru maka tanggung jawab itu atas imam bukan para makmum” (HR Ibnu Majah no 981 dan Hakim dari Sahl bin Saad as Sa’idi. Dinilai shahih oleh al Albani).
Ibnul Mundzir mengatakan, “Hadits ini membantah orang yang beranggapan bahwa jika shalat imam rusak maka rusaklah shalat para makmum di belakngnya”.
Ibnu Juraij bertanya kepada Atho’, “Ada imam yang shalatnya tidak sempurna, apakah aku boleh tidak shalat di belakangnya?”.
Jawaban Atho’,
بَلْ صَلِّ مَعَهُ، وَأَوْفِ مَا اسْتَطَعْت، الْجَمَاعَةُ أَحَبُّ إلَيَّ، فَإِنْ رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْ الرُّكُوعِ وَلَمْ يُوفِ الرَّكْعَةَ فَأَوْفِ أَنْتَ، فَإِنْ رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْ السَّجْدَةِ وَلَمْ يُوفِ، فَأَوْفِ أَنْتَ، فَإِنْ قَامَ وَعَجَّلَ عَنْ التَّشَهُّدِ فَلا تُعَجِّلْ أَنْتَ، وَأَوْفِ وَإِنْ قَامَ
“Bahkan tetap berjamaah bersamanya dan sempurnakan shalat semaksimal mungkin. Shalat berjamaah itu lebih aku sukai. Jika imam sudah bangkit dari ruku padahal dia belum ruku dengan sempurna maka sempurnakanlah ruku’mu. Jika imam sudah mengangkat kepala dari sujud padahal dia belum sujud dengan sempurna maka sempurnakanlah sujudmu. Jika imam sudah bangkit berdiri dan bertasyahud dengan tergesa-gesa maka engkau jangan ikut tergesa-gesa. Bertasyahudlah dengan sempurna meski imam sudah berdiri”.
Ibrahim an Nakha-I berkata kepada ‘Alqomah, “Imam shalat kita tidak mengejakan shalat dengan sempurna”. Alqomah berkata, “Akan tetapi kita mengerjakan shalat dengan sempurna-artinya kita tetap berjamaah bersamanya dan shalat tetap kita kerjakan dengan sempurna- (Lihat al Muhalla 4/214).
Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Jika imam mengerjakan shalat sesuai dengan ijtihadnya lalu tidak mengerjakan hal-hal yang diyakini makmum sebagai hal yang wajib semisal imam tidak berkeyakinan wajibnya membaca basmalah atau tidak berkeyakinan bahwa wudhu itu batal disebabkan keluarnya darah, tertawa terbahak-bahak dan menyentuh perempuan sedangkan makmum meyakini wajibnya ha-hal tersebut maka menurut Imam Malik shalat makmum tetap sah. Inilah pendapat pertama dari dua pendapat yang dimiliki oleh Imam Ahmad dan Syafii.
Pendapat yang kedua dari kedua imam tersebut sama dengan pendapat Abu Hanifah yaitu shalat makmum tidaklah sah.
Pendapat para ulama Madinah (semisal Imam Malik) tidaklah diragukan merupakan pendapat yang benar. Terdapat hadits dalam Shahih Bukhari, Nabi bersabda, “Mereka, para imam shalat itu shalat bersama kalian. Jika mereka bertindak yang benar maka pahalanya itu kalian dan mereka. Namun jika mereka berbuat keliru maka pahalanya untuk kalian sedangkan tanggung jawabnya atas mereka”.
Hadits ini merupakan dalil tegas dalam masalah ini. Sedangkan berdasarkan pertimbangan logika, imam telah mengerjakan shalat berdasarkan ijtihadnya maka shalatnya tidak bisa divonis batal. Bukankah pendapat seorang penguasa dengan dasar ijtihad itu harus dilaksanakan? Maka masalah shalat berjamaah, lebih-lebih lagi” (Majmu Fatawa 20/364-365).